PERJALANAN MENUJU PULAU LOMBOK
Hari 1
06.30 WIB, baru 5 hari yang lalu saya melakukan
dua trip, nanjak ke gunung Merapi bersama teman saya dari Malang dan Ruli,
kemudian langsung lanjut camping di Gedong Songo (Ungaran) bersama teman-teman
penggiat alam dari Jateng dan DIY.
Hari ini saya akan memulai trip lagi menuju Pulau Lombok. Bersama
teman saya Ipenk (cowok, kota asal Semarang-Jateng, kerja di Salatiga-Jateng)
dan teman Ipenk, Surya namanya (cowok, kota asal Jakarta, kerja di Surabaya).
Saya akan naek kereta api dari stasiun Purwosari, Surakarta,
Jawa Tengah. Rumah saya di Boyolali kota (Jawa Tengah), kira-kira jarak 1 jam
dengan stasiun Purwosari. Nanti ketemu Ipenk di Purwosari. Dan Surya naek dari
Surabaya dengan kereta yang sama.
Rencana awal, saya akan nebeng kakak laki-laki saya menuju
stasiun Purwosari naek motor jam 07.00 WIB. Karena kebetulan kakak saya kerja
di daerah Surakarta, searah dengan stasiun Purwosari.
Saya masih menunggu Ruli (cewek, sahabat saya). Senter saya
di rumah Ruli, karena waktu saya naek Merapi 5 hari yang lalu, senter saya
terbawa di tas teman, kemudian Ruli yang ngerawatnya. Hari ini katanya Ruli
akan mengantar senter saya ke rumah. Tapi saya tunggu belum datang juga. Ruli
sms saya, bahwa dia ingin mengantar saya ke stasiun Purwosari sekalian dia
berangkat ke Jogja.
07.36 WIB, sudah
lewat jam 07.00 WIB, tapi Ruli belum datang juga. Deg-deg’an menunggu Ruli,
soalnya jadwal kereta saya berangkat jam 08.36 WIB. Jarak rumah ke stasiun
kira-kira 1 jam, itu kalau jalanan tidak macet. Hari-hari ini adalah hari rawan
macet, maklum musim liburan.
Akhirnya Ruli datang juga, agak lega. Berangkat dari rumah,
dianter Ruli naek motor menuju stasiun Purwosari. Agak deg-deg’an selama
perjalanan, takut ketinggalan kereta. Maklum, trip ini sudah saya impikan lebih
dari 1 tahun yang lalu. Di tengah perjalanan, Ruli tiba-tiba mengucap istighfar
dengan lantang. Ternyata dia lupa membawakan senter saya. Ya Allah, kami sedang
buru-buru, ada saja yang kurang. Saya makin deg-deg’an saja. Ruli semakin
merasa bersalah. Berusaha mampir di sebuah toko untuk membelikan saya senter,
tapi toko tersebut ternyata tidak jual senter. Saya berusaha menghibur Ruli
biar dia tidak begitu merasa bersalah, walaupun sebenarnya saya juga agak deg-deg’an
dan bingung. Tambah anggaran lagi, batin saya. Hehehe....
Saya bilang ke Ruli, saya bisa beli senter nanti di
perjalanan. Kalau kebanyakan mampir, saya takut ketinggalan kereta.
Sampai stasiun yang dituju, entah ngantuk atau apa, saat
akan masuk pintu parkir stasiun, kami malah salah masuk. Bukannya masuk pintu
parkir, malah masuk gang sebelah stasiun. Saya juga sok yakin banget, ya sudah
lanjut masuk gang saja, siapa tau nanti ada gang sempit menuju parkiran.
Ternyata pikiran saya salah!!! Sampai ujung gang tiada hasil. Padahal kami
dalam keadaan sangat buru-buru. Ya sudah kami putar balik kendali, lalu masuk
pintu parkir yang sesungguhnya. Ternyata ada tukang becak yang dari tadi
memperhatikan kami. Saat kami masuk pintu parkiran, bapak tadi nyeletuk “Salah
pintu ya mbak??”, sambil tertawa ngakak. Kami sudah tidak sempat menunjukkan
muka malu (mungkin karena memang urat syarat kemaluan kami sudah putus, atau
karena kami dalam keadaan sangat tegang, entahlah. Kami sudah tidak mau
menghabiskan waktu untuk memikirkan hal konyol ini). Masuk stasiun sudah jam
08.40 WIB, melebihi jadwal keberangkatan kereta. Ipenk sudah menunggu di
stasiun sejak jam 08.00 tadi. Dia diantar Aseng (cowok, teman Ipenk dari
Kartasura-Jateng). Tadi malam Ipenk sengaja menginap di rumah Aseng, karena
rumah Aseng lebih dekat dengan stasiun.
Untung kereta yang akan saya gunakan belum datang, agak
terlambat.
Alhamdulillah......
Satu ketegangan saya sudah berkurang. Di stasiun saya dan
Ipenk saling check list alat-alat kami. Cuma senter yang kurang. Ipenk pesan ke
Surya, biar dibelikan senter. Karena kereta sampai Surabaya masih sekitar jam 1
siang, jadi Surya masih punya banyak waktu untuk prepare.
Selesai check list peralatan, saya dan Ipenk berpamitan pada
Ruli dan Aseng, kami masuk ke peron. Menunggu kereta Sri Tanjung jurusan
Banyuwangi. Duduklah kami bersebelahan di kursi peron. Ipenk di samping kiri
saya. Di samping kanan saya seorang ibu 50an tahun, dengan logat Jawa Timurnya
berusaha mengajak ngobrol dengan saya. Saya bukan tipe wanita yang suka memulai
obrolan. Kalau tidak diajak dulu, saya biasanya malas untuk memulai
perbincangan. Untung saya sedikit-sedikit mengerti logat Jawa Timur. Agak
nyambung sih. Tapi, lama-lama ini ibu ngomongnya ngelantur. Saya tanya apa,
ibunya jawab apa. Lalu ibunya pinjam Hp saya, beliau minta tolong dihubungkan
sebuah nomor. Entah nomor siapa saya tidak tahu, saya juga malas untuk meminta
penjelasan. Ternyata nomor yang dihubungi beliau tidak aktif. Kemudian beliau
mengembalikan Hp saya. Makin lama ibu di samping saya makin aneh. Untung tidak
lama kemudian kereta saya datang.
Jam 08.50 WIB, kereta Sri Tanjung akhirnya tiba juga dari
Jogja, kereta yang membuat senam jantung cacing-cacing di perut saya. Saya dan
Ipenk berjalan beriringan dengan masing-masing membawa carrier besar menuju
kereta. Mencari gerbong sesuai tiket kami.
09.05 WIB Kereta
Sri Tanjung tinggal landas dari stasiun Purwosari, Surakarta, Jawa Tengah.
Seperti biasa, saya ini makhluk pelor. Sekali nempel, langsung molor.
Sekali-sekali bangun melihat sikon kanan kiri depan belakang. Melihat jam
tangan, mengeluarkan my Yellow Minibook (buku kecil, catatan perjalanan saya),
yang biasa saya tenteng kemana saja saya pergi. Mencatat jam dan tempat,
kemudian saya tidur lagi.
Di depan saya duduk Ipenk, seorang ibu (40an tahun) dan
putranya (4an tahun). Ipenk sepertinya terkadang ngobrol dengan ibu di
sebelahnya. Tapi saya tetap dengan kesibukan saya, MOLOR. Tidak peduli mereka
ngrumpi apa, atau bahkan mungkin ngrumpiin saya, saya tidak peduli. MOLOR is
the best.
11.00 WIB Magetan
(stasiun Barat)
11.30 WIB Madiun
Saat saya bangun, ibu di sebelah Ipenk membuka obrolan
dengan saya. Ibu ini sangat ramah ternyata. Beliau berasal dari Jogja, asli
Jogja dapat suami orang Jawa Timur (daerah Kriyan, dekat Surabaya). 13 tahun
menikah, beliau baru dikarunai seorang putra. Beliau sedikit bercerita tentang
perjuangan beliau dalam pernikahannya. Mendapat cercaan dari keluarga suami,
karena mereka lama menikah belum juga dikaruniai seorang anak. Sabar menanti,
sabar meminta pada Yang Kuasa, sabar berusaha, sabar menghadapi tantangan dari
luar. Keren memang, salut saya. Beliau adalah pengusaha sarung tangan dari
kulit kambing dan domba. Beliau menceritakan bagaimana beliau dan suaminya
berjuang membesarkan usahanya. Berbisnis itu harus berani rugi di awal katanya.
Beliau sudah berkali-kali jatuh terperosok dan kemudian bangun lagi dengan
perlahan. Tapi alhamdulillah, sekarang usaha beliau sudah menunjukkan sinar
terang.
Beliau akan menuju Kriyan, tempat mertuanya. Suaminya tidak
turut serta, karena di ambang keberangkatan (sudah sampai stasiun Jogja),
suaminya ditelepon dari kantor, ada job urgen dadakan. Satu hal yang lebih urgen
harus dipilih. Suaminya batal ikut mudik dan akan menyusul esok harinya.
Suaminya bekerja di sebuah perusahaan sarung tangan besar di daerah Jogja
(sarung tangan dari kulit kambing dan domba). Dari sinilah beliau dan suaminya
belajar bisnis sarung tangan.
Belum puas rasanya saya mengorek ilmu dari beliau, sampai
akhirnya beliau harus turun di stasiun Wonokromo (sekitar jam 13.00 WIB). Saya kembali terlelap
selesai obrolan tadi. Kemudian naik seorang penumpang baru, wanita (40an tahun
lebih) menggantikan posisi ibu Jogja yang tadi. saya sadari saat saya sesaat
terbangun sebentar dan tidur kembali.
Di stasiun mana saya lupa, kereta membalikkan lokomotif.
Ipenk tidak tahan bila jalan mundur, saya bertukar tempat dengan Ipenk. Saya
duduk bersebelahan dengan penumpang baru tadi. Tanpa peduli seperti biasa,
MOLOR lagi saya.
14.30 WIB Surabaya
(stasiun Gubeng)
Seorang wanita 45an tahun, membawa 1 orang putri (sekitar 5
tahun), 1 orang putra (sekitar 10 tahun), 2 buah tas besar, 2 buah tas kresek agak
besar berisi makanan kecil, tiba-tiba mengagetkan saya dan Ipenk. Nomor kursi
beliau sama persis dengan nomor kursi kami. Kami saling menunjukkan tiket.
Suasana di gerbong kami agak memanas dan ramai. Penumpang lain juga pada
ikut-ikutan nimbrung. Petugas kebersihan dan petugas dapur ikut nimbrung juga
berusaha mencarikan jalan keluar. Benar, 2 nomor kursi di tiket kami sama.
Bagaimana bisa terjadi, kami juga bingung. Saya dan Ipenk merasa kasihan juga
dengan rombongan keluarga itu. Berhimpit-himpitan kami duduk di deretan kursi
kami. Untung saya dan Ipenk punya jatah 3 kursi, karena awalnya ada satu teman
Ipenk yang ingin ikut trip ini, sudah kami belikan tiket kereta, tapi dia batal
ikut. Kami berenam duduk di 2 deret kursi kereta (masing2 deret jatah untuk 3
orang). Sangat sesak, karena barang bawaan kami masing-masing sangat banyak.
Tempat barang di atas kami sudah penuh. Cuma cukup untuk satu tas carier saya
(carier pinjaman dari Mbak Ipung), carier Ipenk kami letakkan di tengah-tengah
sela deret kursi. Ibu tadi masih saja terus ngomel (sebut saja bu Bunga, saya
lupa tidak menanyakan siapa namanya). Beliau bilang, suami beliau sudah pesan
tiket sejak sebulan yang lalu. Ipenk juga ikut-ikutan ngomel tapi lirih, kami
juga sudah beli tiket sejak satu bulan yang lalu. Saya hanya membatin, sudahlah
bu bersyukur saja masih bisa duduk dari pada berdiri sampai Banyuwangi.
Hmmmmm,,,
15.40 WIB,
Sidoarjo (stasiun Bangil)
Surya naik dari sini. Awalnya kami menyuruh Surya duduk di
kursi kosong kami. Tapi karena ada kejadian tadi, batal dey. Tapi Surya sudah
terlanjur masuk ke gerbong kami. Ipenk menjelaskan kejadian tadi ke Surya, dan
menyuruh Surya menduduki kursinya sendiri. Kemudian gantian Surya yang curhat
ke Ipenk, ternyata Surya masuk ke kereta sebagai penumpang ilegal. Gubraaaaakkkk....
Nyali gede nnih Surya. Padahal nanti masih ada pengechek’an
tiket di Probolinggo. Kami punya 3 tiket, 2 tiket sudah kami mintakan stempel
pemeriksaan KTP di stasiun Purwosari, satu tiket lagi belum ada stempelnya.
Soalnya sekarang pembelian tiket harus menggunakan tanda pengenal (KTP,SIM atau
sejenisnya). Dan ketika masuk peron, ada pemeriksaan kesesuaian tiket dengan
tanda pengenal. Kami menyusun strategi dengan memanfaatkan musibah kesamaan
kursi. Surya duduk di belakang gerbong, dekat kamar mandi.
Sampailah di Probolinggo, jam berapa saya lupa. Petugas
pengechek’an tiket sudah sampai di gerbong kami. Agak deg-deg’an juga. Mungkin
bapak petugas ini sudah dijelaskan petugas dapur tadi tentang kesamaan kursi
kami. Bapak petugas mengecheck tiket ibu Bunga duluan, dibacanya dengan teliti.
Ternyata tiket ibu itu yang salah. Ternyata tiket beliau untuk bulan kemarin
bukan bulan ini. Berarti kami yang benar. Dengan gagahnya saya dan Ipenk merasa
menang. Tapi dengan legowo kami tetap mengijinkan ibu dan 2 anaknya duduk
berhimpitan di kursi kami. Karena memang sifat dasar kami tidak sombong, suka
menolong dan gemar menabung sehingga kami punya tabungan untuk beli tiket
kereta ke Banyuwangi. Saat kami menunjukkan tiket kami, bapak petugas hanya
sedikit melirik dan bilang, “Yup benar, tiket kalian yang benar, ibu ini yang
salah”. Bahkan tiket kami tidak dipegang oleh bapak petugas, tidak dikasih
lubang pemeriksaan seperti di stasiun-stasiun sebelumbnya, seperti tiket-tiket
penumpang yang lain. Dan dengan bangga kami bilang ke bapak petugas, “Pak,
tiket kami 3 buah, teman kami yang satu mengalah, dia duduk di belakang
gerbong, di depan kamar mandi”.
“Okey”, jawab bapak petugas dengan mantab.
Ibu Bunga, masih dengan ekspresi ketusnya, langsung telepon
suaminya. Ternyata beliau sudah pesan untuk perjalanan PP. Tiket yang satunya
juga salah bulan. Di telepon beliau ngomel habis-habisan ke suaminya tentang
kesalahan bulan di tiket yang di pesan. Sepertinya memang ibu yang satu ini
orangnya agak gak enak.
Bapak petugas meneruskan perjalanan mengecheck tiket, sampai
akhirnya tidak terlihat lagi oleh kami. Lalu Ipenk jalan ke belakang menemui
Surya yang sebelumnya sudah kami training tentang persandiwaraan tadi. Ternyata
kami berhasil. Uuuffffftttt legaaaaa....
Awal trip yang penuh ketegangan. Heheheeee,,,,
Kembali ke ibu Bunga, beliau dapat kabar dari suaminya.
Suaminya sudah datang ke stasiun tempat beliaupesan tiket. Tiket yang salah
bulan tadi masih bisa direvisi, tapi mundur satu hari. Alhamdulillah, dari pada
tidak bisa sama sekali.
Ibu Bunga turun di daerah Banyuwangi, sebelum stasiun
terakhir. Ibu yang di sebelah saya juga turun sebelum stasiun terakhir. Saya,
Ipenk dan Surya akan turun nanti di stasiun terakhir.
Kursi kami longgar, akhirnya Surya sudah bisa duduk nyaman
di kursi kereta. Ipenk kenal Surya satu tahun yang lalu d sewaktu naek ke
Semeru. Saya baru ini kenel Surya. Kami bertiga ngobrol-ngobrol dan sesekali
berfoto-foto narsis di kereta. Entah kenapa mata saya tertuju pada gigi depan
Surya dan Ipenk. Dan saya ngakak dalam hati. Kami bertiga sama-sama punya satu
gigi depan yang keropos sebagian. Dengan polosnya saya ungkapkan itu di depan
Ipenk dan Surya. Mereka berdua ngakak tak henti-henti. Dan kami menamakan tim
ini GOMPIL PAL. Nama yang cukup manis (menurut kami, walau agak memaksa untuk mengesahkan
sebutan manis).
21.30 WIB,
Banyuwangi (stasiun Banyuwangi Baru)
Akhirnya saya bisa keluar dari pengapnya kereta, setelah 11
jam berada di dalamnya. Oiya, saya lupa bercerita tentang toilet kereta. Saya
baru 2 kali naik kereta jarak jauh. Dan baru sekali tadi saya masuk toilet
kereta api. Ternyata lubang toilet langsung menuju keluar kereta. Jadi kalau
kita buanga apa-apa lewat lubang toilet, kotoran itu akan langsung jatuh ke
rel. Tadi pas di kereta saya sebenarnya kebelet ‘puppy’, tapi karena melihat
kondisi toilet yang seperti itu hilang sudah nafsu saya untuk ‘puppy’. Hikz....
Tak lupa saya sempatkan bernarsis-narsis ria di stasiun.
Kemudian kami jalan kaki bertiga dengan gagah menggendong carier masing-masing
menuju pelabuhan Ketapang (Banyuwangi-Jawa Timur), jaraknya dekat dengan
stasiun. Jalan kaki paling cuma 15 menit. Kali ini saya juga kelihatan gagah
lho, saya khan bawa carier (walaupun Cuma pinjaman, kecil lagi). Jarang sekali
anda melihat saya menggendong carier, biasanya daypack Eiger kecil yang
nangkring di punggung dan tas rajutan coklat yang dengan setia tersampir di
pundak saya.
Sampai di Pelabuhan kami beli tiket untuk 3 orang dewasa
@Rp. 6.000,00
22.10 WIB, Kapal
fery yang kami naiki berangkat meninggalkan pulau Jawa. Good bye Java, see U
next time. Kami bertiga mencari tempat paling atas di kapal. Saya ini gampang
mabuk. Apalagi kalau di kapal seperti ini. Saya sengaja jalan-jalan terus di
atas kapal sambil melihat air laut, untuk sekedar menghilangkan rasa pusing dan
mual. Narsis dan foto-foto, tak terlewatkan.
Kami bertiga menikmati angin laut di atas kapal. Posisi
pandang kami tepat di atas parkiran. Kami lihat di bawah kami sebuah truk
terparkir. Saya melihatnya sangat ngeri. Truk itu terombang-ambing ke kanan
kiri begitu kerasnya kayak hampir terlempar ke kanan kiri, karena gerakan kapal
yang terkena ombak yang lumayan besar.
22.50 WIB, 23.50 WITA Pelabuhan Gilimanuk (pulau
Bali). BALI, saya sudah berada di pulau Bali, rasanya seperti mimpi.
Alhamdulillah.
Saya baru sadar kalau saya sudah berada di WITA, saat di pelabuhan
Gilimanuk ada seseorang menanyakan ke saya, jam berapa sekarang. Saya jawab,
jam 11 malam. Orang itu kaget, lalu dia tanya lagi ke saya, “Jam Jawa apa jam
Bali mbak?”.
Tujuan kami selanjutnya adalah pelabuhan Padang Bai, Bali.
Hari 2
00.00-01.30 WITA
Tidur terlelap di bawah pohon kelapa, di pelataran pelabuhan Gilimanuk,
menunggu Cahya (cowok, teman Ipenk dari Jawa yang kerja di daerah Gilimanuk).
Kata Cahya, bis yang menuju ke Padang Bai adanya sekitar jam setengah 3 pagi.
Rencananya kami akan mampir dulu di tempat Cahya. Tapi Cahya baru perjalan dari
Banyuwangi ke Gilimanuk. Sebenarnya kapalnya sudah di pelabuhan, tapi baru
antri bersandar.
Cukup lama kami menunggu Cahya di bawah pohon kelapa. Sudah
hampir jam setengah 3, kami memutuskan untuk keluar pelabuhan, tak lagi
menunggu Cahya.
Di pintu keluar pelabuhan, KTP kami tidak dicheck oleh
petugas. Ada beberapa polisi yang sedang bertugas di situ. Kami ditanya mau
kemana, kami jelaskan dengan seksama. Mereka bilang pagi ini tidak ada bus
menuju Padang Bai. Karena suasana macet liburan. Kami disarankan naik bus
jurusan terminal Ubung, Denpasar-Bali. Kami menurut saja, saat salah satu
polisi menyetop sebuah bus menuju terminal Ubung. Saya sebenarnya melihat,
sopir bus memberikan salam tempel ke salah satu polisi. Tapi kami tidak mau
ambil pusing. Kami langsung naik saja tanpa menanyakan tarif bus terlebih
dahulu (02.40 WITA). Di dalam bus
kondektur menarik pembayaran tiket sebesar @Rp. 40.000,00. Saya serahkan uang
kami dengan ikhlas. Karena saya paling wanita dalam tim ini, maka saya yang
memegang keuangan di sini. Saya mengobrol dengan penumpang di seberang saya,
katanya kalau hari biasa tarifnya @Rp. 30.000,00. Karena ini musim liburan,
makanya lebih mahal. Saya memang sudah menyiapkan budget lebih untuk
mengantisipasi kenaikan tarif transportasi. Karena timing saya sebenarnya
kurang tepat untuk liburan, waktu dimana tarif transportasi naik dari tarif
biasa. Tapi bagaimana lagi, hanya di liburan ini saya punya waktu agak panjang
untuk melakukan trip yang agak jauh.
Arah keluar dari Gilimanuk agak longgar. Tapi arah ke
Gilimanuk padatnya gak ketulungan. Banyak sekali kendaraan yang nakal memakai
jalur kami untuk salip menyalip. Yah, saya maklum, ini indonesia sist!!! Jalur
arah ke Gilimanuk macet. Jalur saya, arah keluar dari Gilimanuk juga jadi
ikut-ikutan macet kena imbas nakal dari pengguna jalan lawan arah. Di hutan
Gilimanuk, sopir-sopir kendaraan di jalur saya pada ngambek. Semua mesin
kendaraan dimatikan. Entah sudah berapa lama bus yang saya tumpangi mematikan
mesinnya. Saya baru tahu, karena saya baru terbangun dari tidur lelap saya
(seperti biasa, PELOR!!!).
06.00 WITA,
rupanya bus yang kami tumpangi sudah menghidupkan mesinnya, tapi entah dari
jamberapa saya tidak tahu. Biasalah, kalau saya bisa menuliskan jam berarti
saya baru saja bangun tidur. Heheheeee....
Kami masih terjebak macet, jalan pelan-pelan.
06.45 WITA,
Alhamdulillah, terbebas dari macet. Dari saya berangkat kemarin saya terus
berhubungan lewat Hp dengan Mas Bintoro dan Mas Koes, teman saya di Lombok.
Rencananya kami akan menginap di rumah Mas Bin, dan Mas Koes yang akan
menjemput kami di terminal Mandalika karena Mas Bin diperkirakan pas saya
sampai Mataram (Lombok), dia dapat tugas menjemput tamunya orang Inggris yang
baru datang dari pulau Komodo.
09.45 WITA,
Terminal Ubung, Denpasar-Bali.
Di sini banyak sekali tersebar calo. Sebelumnya kami sudah
dijelaskan oleh kondektur bus yang baru kami tumpangi tadi. Kami bertiga
menunggu bus jurusan Padang Bai di dalam terminal. Tiap calo yang tanya mau
kemana, kami selalu bilang “nunggu jemputan”. Biar aman.
Bus yang kami tunggu-tunggu ternyata malah tidak masuk
terminal. Bus itu dengan santainya melaju tanpa menoleh satu derajatpun ke
kami. Kontan saja kami agak kesal, mangkel, dan satu lagi agak bingung. Kami
tidak tahu menahu, harus naik bus apa selain bus tadi. Mau tanya ke calo, sama
saja masuk mulut harimau. Kami putuskan untuk keluar terminal dulu mencari
ketenangan tanpa adanya hiruk pikuk ramainya calo. Belanja di Alfamart dulu.
Nongkrong-nongkrong di depan Alfamart. Ipenk mencoba telepon temannya yang
berdomisili di Bali, siapa tau ngerti. Saya juga berusaha, membuka-buka kontak
Hp, siapa tahu saya juga punya teman di Bali yang bisa saya mintai petunyuk.
Oiya, saya khan punya teman dari daerah Singaraja-bali, Mbok Sri namanya (mbok=
panggilan mbak untuk orang Bali). Saya mencoba menghubunginya. Saya sms, tidak
dibalas-balas, saya telepon tidak diangkat. Di seberang sana ternyata ada pos
polisi. Saya mengajak Ipenk untuk bertanya ke polisi di seberang sana. Salah
satu polisi menjelaskan ke saya dan Ipenk. Kemudian kami berdua kembali ke
tempat tongkrongan, depan Alfamart. Ipenk dan Surya mencoba masuk terminal,
mencari petunyuk yang dijelaskan polisi tadi. Saya menunggu di depan Alfamart
sambil memantau tas kami. Sengaja kami tinggal di sini, karena kalau Ipenk dan
surya masuk terminal bawa tas besar pasti jadi pusat perhatian dan mangsa para
calo. Tak lama kemudian Ipenk dan Surya kembali ke tempat tongkrongan. Menurut
cerita mereka, mereka tadi menemukan sebuah bus jurusan Sumbawa, namanya PO
Titian Mas. Tadi Ipenk mencoba menghubungi Kondekturnya. Karena di dalam
terminal terlalu banyak calo dan preman, agaknya kondektur bus tersebut agak
takut untuk bertransaksi langsung dengan calon penumpang. Dengan berbisik-bisik
lirih, sang kondektur menyuruh Ipenk untuk menunggu di depan terminal. Soal
harga nanti sajalah, gampang katanya. Ipenk menurut saja. Kini kami bertiga
stand by di depan terminal, tepatnya di depan pelataran Alfamart. Tak lama, bus
yang dimaksud datang. Kami langsung disuruh naik, bus itu terus saja melaju
pelan tak berani berhenti. Bisa dibayangkan betapa repotnya kami berlarian
mencapai pintu bus sambil membawa carier. Apalagi saya seorang wanita,
berlarian tanpa beban ngejar bus saja bagi saya sudah terlalu payah, apalagi
saya masih harus menenteng sebuah carier berat dan menyandang tas rajutan saya.
Saya tidak sempat memanggulkan carier di punggung saya. Waktu kami terlalu
singkat. Ini lebih dari sebuah DIKSAR. Ilmu kecekatan terpakai di sini. Momen
yang sangat membahayakan bagi saya. Ipenk sudah berhasil menaikkan carier dan
tubuhnya ke dalam bus. Saya lempar carier ke arah kondektur yang sudah stand by
di pintu bus. Setelah tangan kanan bebas dari carier, dengan sigap saya sahut
pegangan besi di dekat pintu. Kondektur menyahut tangan kiri saya dengan
cekatan. ‘Huppp yeaaaccchhh...
Saya berhasil menyusul Ipenk masuk ke dalam bus. Menyusul kemudian Surya. Tak begitu susah mungkin bagi pria. Saya dan Surya duduk di kursi plastik di bagian belakang bus. Karena bus memang sudah penuh. Kami tidak mendapatkan kursi empuk seperti penumpang yang lain. Ipenk duduk di depan, bukan di kursi penumpang juga. Ipenk mencoba mengajak komunikasi kondektur bus. Dia sms saya, dia bilang di depan ada seorang preman dari terminal Ubung yang ikut masuk mengikuti bus. Entah apa tujuannya kami kurang tahu. Yang jelas sang kondektur takutnya bukan main dengan preman tersebut. Sampai-sampai tidak berani bertransaksi harga dengan Ipenk. Di belakang bus, saya sibuk tanya sana tanya sini, saya introgasi satu-satu para penumpang. Yang naik dari terminal Ubung, rata-rata mereka kena tarif 250-300 ribu rupiah sampai Mataram (Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat). “Gubrak!!!”. Prediksi saya, Denpasar-Mataram Cuma sekitar 100 ribu. Hadeeew....
Saya berhasil menyusul Ipenk masuk ke dalam bus. Menyusul kemudian Surya. Tak begitu susah mungkin bagi pria. Saya dan Surya duduk di kursi plastik di bagian belakang bus. Karena bus memang sudah penuh. Kami tidak mendapatkan kursi empuk seperti penumpang yang lain. Ipenk duduk di depan, bukan di kursi penumpang juga. Ipenk mencoba mengajak komunikasi kondektur bus. Dia sms saya, dia bilang di depan ada seorang preman dari terminal Ubung yang ikut masuk mengikuti bus. Entah apa tujuannya kami kurang tahu. Yang jelas sang kondektur takutnya bukan main dengan preman tersebut. Sampai-sampai tidak berani bertransaksi harga dengan Ipenk. Di belakang bus, saya sibuk tanya sana tanya sini, saya introgasi satu-satu para penumpang. Yang naik dari terminal Ubung, rata-rata mereka kena tarif 250-300 ribu rupiah sampai Mataram (Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat). “Gubrak!!!”. Prediksi saya, Denpasar-Mataram Cuma sekitar 100 ribu. Hadeeew....
Sekitar 15 menit setelah kami naik bus, sang kondektur jalan
ke belakang bus menemui saya dan Surya. Saya dan sang kondektur mulai
bertransaksi harga. Awalnya dia minta 250 ribu per orang. Dengan agak takut, saya
tawar 150 ribu per orang. Bagaimana tidak agak takut, saya menghadapi seorang
pria bertato kadal (entah kadal atau cicak saya kurang jelas), di salah satu
telinganya tertancap sebuah anting tindik (bahkan saya kalah feminin ternyata,
saya saja tidak pake’ anting). Agak sangar ternyata bang kondektur satu ini. Tapi
koq takut sama preman terminal. Sang kondektur tidak Acc dengan penawaran harga
saya. Saya naik’kan penawaran jadi 500 ribu untuk 3 orang. Tidak juga diAcc. Saya
lihat bang kondektur menelepon seseorang, kemudian dia sampaikan ke saya dia
hanya bisa memberikan keringanan 50 ribu per orang, jadinya 200 ribu per orang.
Saya masih memohon penurunan harga lagi. Lalu saya tanya, “Kalau kami turun di sini,
bayarnya berapa?”. Bang kondektur bilang, “Sebentar mbak, saya konsultasikan lagi
dengan petugasnya. Saya telepon dulu”.
Berjalanlah bang kondektur ke depan sambil telepon. Kemudian
saya lihat dia malah duduk di depan. Saya tunggu lama, dia masih anteng duduk
di depan. Saya dan Surya khawatir, nanti kalau tiba-tiba sudah sampai Mataram,
kami harus bayar tarif tinggi, kami malah kerepotan. Saya susul bang kondektur
ke depan. Saya colek-colek punggungnya. Kaget dia rupanya, dengan sedikit
berbisik, dia menyuruh saya kembali duduk di belakang. Sepertinya dia sangat
takut dengan preman di sebelahnya. Saya masih tidak mengerti dengan rasa
ketakutannya itu. Saya nurut saja, kembali ke kursi plastik saya (kursi bulat,
keras, tanpa sandaran). Saya dan Surya masih resah dengan pikiran kami tadi. Agak
lama, bang kondektur baru mau menemui saya lagi. Lalu saya tanya lagi, “Bagaimana
bang? Boleh kan 150 ribu per orang? Kami paling mentok hanya bisa ngasih segitu.
Kalau gak boleh, mending kami diturunin di sini aja gak pa pa.” Nada bicara
saya berangsur-angsur terdengar agak berani. Dan bang kondektur
berangsur-angsur semakin terlihat gugup. Entah kerasukan atau gimana, bang
kondektur Acc dengan harga saya. Saya malah jadi bingung sendiri, padahal tadi
saya sudah nawar 500 ribu untuk 3 orang. Nah, sekarang saya kembali ke
penawaran saya yang pertama 150 ribu per orang (kalau diakumulasi jadinya 450
ribu untuk 3 orang) malah diAcc. Tapi saya tidak mau ambil pusing, segera saya
serahkan uang 450 ribu ke bang kondektur, sebelum dia sadar dan berubah
pikiran.
11.45 WITA Pelabuhan
Padang Bai. Antri beberapa saat, baru kemudian bus kami dapat giliran masuk
kapal. Seluruh penumpang turun, jalan kaki ke kapal. Saya, Ipenk dan Surya cari
tempat paling atas, seperti kemarin waktu nyebrang ke Bali. Penyebrangan kali
ini beda ma kemarin. Puanaaaaaaaaasssssssssss.....
Kemarin nyebrangnya malam, jadi tidak semenderita ini.
Kepala saya sudah mulai pening. Perut mulai mual-mual. Saya cuoba untuk tetap bertahan, jangan sampai muntah. Berfoto-foto ria di atas kapal, salah satu usaha untuk mengalihkan pikiran biar tidak begitu merasakan rasa mual. Tapi, tetap saja. Berdiri terus saya capek, kalau duduk semakin mual. Bingung saya harus bagaimana. Saya berusaha menyibukkan diri melupakan rasa mual. Mondar-mandir berkeliling kapal seperti orang setress saya lakukan. Ipenk dan Surya saya lihat sedang asik ngobrol dengan seorang pria penumpang kapal, satu bus juga dengan kami. Rupanya pria itu pernah juga naek ke Rinjani. Mereka sedang asik ngobrol tentang gunung. Dan saya, sedang asik mencari solusi penghilang mual. Dan pada akhirnya, saya tidak kuat. Saya sekarang sibuk mencari kantong plastik. Kantong plastik mana, mana kantong plastik. Saya ambil sebuah kantong plastik berisi cemilan di samping surya, saya keluarkan dengan paksa semua isi kantong plastik. Saya tidak sempat mencari tempat sembunyi, dan “Huweeeekkkk, huweeeekkkk”. Oh tidak, saya agak malu (masih sempat saya merasa malu). Saya mabuk laut. Serius, saya malu. Sirna sudah kesangaran saya (sangar??? ‘h, enggak ding!! Hehehe). Agak lebih mendingan ternyata setelah bisa muntah. Lalu saya cari tempat yang lebih nyaman, saya duduk di lantai kapal. Duduk merunduk menekukkan kepala ke lutut, berusaha memejamkan mata. Berusaha untuk tidur. Perjalanan di atas laut baru 1/4 perjalanan. Ya Allah, kuatkan saya. Beberapa saat saya bisa tertidur, kemudian bangun mengangkat kepala melihat sekitar. Haducchhh, pusing malah. Kembali saya ke posisi semula, berusaha tidur seperti tadi. Berkali-kali saya terbangun dan tertidur lagi. Benar-benar tidak nyaman, saya ingin segera sampai daratan. Ya Allah, segera dekatkan kapal saya dengan pulau Lombok. Setelah lama saya tunggu-tunggu, kapal hampir sampai ke pelabuhan. Selama di kapal tadi, saya menghubungi mas Koes susah banget. Nomornya tidak aktif. Padahal mas Koes yang dapat tugas dari mas Bintoro untuk menjemput kami di Mataram. Mataram sudah hampir dekat dengan kami. Karena mas Koes tidak bisa dihubungi, kami mencari alternatif lain. Ipenk menghubungi temannya yang di Lombok, tapi hasilnya nihil. Ipenk sebenarnya punya keluarga agak jauh, yang tinggal di Lombok, pak Bowo namanya. Pak Bowo juga sudah tahu kalau Ipenk ada kunjungan ke Lombok. Tapi sayangnya, Ipenk tidak punya nomor Hp beliau. Ipenk mencoba telepon keluarganya di Salatiga, menanyakan nomor pak Bowo. Dapat!!! Pak Bowo berhasil dihubungi. Beliau menyanggupi untuk menjemput kami di terminal Mandalika, Lombok. Dan akan memberi tumpangan untuk kami bermalam di rumahnya. Alhamdulillah, tertolong juga kami. Sudah ada alternatif harapan baru :-)
Kemarin nyebrangnya malam, jadi tidak semenderita ini.
Kepala saya sudah mulai pening. Perut mulai mual-mual. Saya cuoba untuk tetap bertahan, jangan sampai muntah. Berfoto-foto ria di atas kapal, salah satu usaha untuk mengalihkan pikiran biar tidak begitu merasakan rasa mual. Tapi, tetap saja. Berdiri terus saya capek, kalau duduk semakin mual. Bingung saya harus bagaimana. Saya berusaha menyibukkan diri melupakan rasa mual. Mondar-mandir berkeliling kapal seperti orang setress saya lakukan. Ipenk dan Surya saya lihat sedang asik ngobrol dengan seorang pria penumpang kapal, satu bus juga dengan kami. Rupanya pria itu pernah juga naek ke Rinjani. Mereka sedang asik ngobrol tentang gunung. Dan saya, sedang asik mencari solusi penghilang mual. Dan pada akhirnya, saya tidak kuat. Saya sekarang sibuk mencari kantong plastik. Kantong plastik mana, mana kantong plastik. Saya ambil sebuah kantong plastik berisi cemilan di samping surya, saya keluarkan dengan paksa semua isi kantong plastik. Saya tidak sempat mencari tempat sembunyi, dan “Huweeeekkkk, huweeeekkkk”. Oh tidak, saya agak malu (masih sempat saya merasa malu). Saya mabuk laut. Serius, saya malu. Sirna sudah kesangaran saya (sangar??? ‘h, enggak ding!! Hehehe). Agak lebih mendingan ternyata setelah bisa muntah. Lalu saya cari tempat yang lebih nyaman, saya duduk di lantai kapal. Duduk merunduk menekukkan kepala ke lutut, berusaha memejamkan mata. Berusaha untuk tidur. Perjalanan di atas laut baru 1/4 perjalanan. Ya Allah, kuatkan saya. Beberapa saat saya bisa tertidur, kemudian bangun mengangkat kepala melihat sekitar. Haducchhh, pusing malah. Kembali saya ke posisi semula, berusaha tidur seperti tadi. Berkali-kali saya terbangun dan tertidur lagi. Benar-benar tidak nyaman, saya ingin segera sampai daratan. Ya Allah, segera dekatkan kapal saya dengan pulau Lombok. Setelah lama saya tunggu-tunggu, kapal hampir sampai ke pelabuhan. Selama di kapal tadi, saya menghubungi mas Koes susah banget. Nomornya tidak aktif. Padahal mas Koes yang dapat tugas dari mas Bintoro untuk menjemput kami di Mataram. Mataram sudah hampir dekat dengan kami. Karena mas Koes tidak bisa dihubungi, kami mencari alternatif lain. Ipenk menghubungi temannya yang di Lombok, tapi hasilnya nihil. Ipenk sebenarnya punya keluarga agak jauh, yang tinggal di Lombok, pak Bowo namanya. Pak Bowo juga sudah tahu kalau Ipenk ada kunjungan ke Lombok. Tapi sayangnya, Ipenk tidak punya nomor Hp beliau. Ipenk mencoba telepon keluarganya di Salatiga, menanyakan nomor pak Bowo. Dapat!!! Pak Bowo berhasil dihubungi. Beliau menyanggupi untuk menjemput kami di terminal Mandalika, Lombok. Dan akan memberi tumpangan untuk kami bermalam di rumahnya. Alhamdulillah, tertolong juga kami. Sudah ada alternatif harapan baru :-)
15.40 WITA Pelabuhan
Lembar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ya Allah, ini bukan mimpi kan??? Saya berada
di LOMBOK pemirsa!!!! Bayangpun,
LOMBOK!!! Saya takut, saya takut terbangun dari mimpi ini. Bukan mimpi, bukan
mimpi! Saya tersenyum dalam hati. Saya berada di Lombok, bagaikan mimpi. Hus hus
hus!! Saya berusaha mengumpulkan kesadaran. Saya tidak sedang bermimpi. Saya benar-benar
sudah di Lombok, tapi memang saya belum menyentuh tanah Lombok. Ya, ini bukan
mimpi. Kami masuk ke bus lagi, dengan posisi sama seperti tadi sebelum masuk
kapal. Bus kami masih antri untuk dapat keluar dari kapal.
16.00 WITA Bus
kami baru bisa mendapat kesempatan keluar dari pelabuhan.
Saya terlibat obrolan dengan bang kondektur dan beberapa
penumpang lain. Dengan nada agak kesal dan sedikit menggelikan, bang kondektur
cerita, dia baru saja kalah judi 3 juta. Astaghfirullah, 3 juta??? Plis dech,
mending dikasih ke saya bang!!! Kata dia, setiap di atas kapal saat
penyeberangan biasanya para sopir dan kondektur pada ngumpul maen judi, untuk
mengisi waktu luangnya di kapal. Sudah menjadi budaya katanya. Lebih dari 80%
dari mereka ikut judi. Keluar pelabuhan, wajah bang kondektur jadi agak pucat. Agak
geli sih saya dengan tingkah bang kondektur, tapi agak kasihan juga. Saya perhatikan
dia sedang menelepon seseorang. Sepertinya dia telepon istrinya yang tinggal di
Lombok. Saya mendengar percakapan teleponnya. Suara wanita di seberang pesawat
telepon sana juga samar-samar agak terdengar. Bang kondektur masih punya
selipan uang 1 juta. Rencananya akan diberikan untuk istrinya. Mereka akan
mengatur pertemuan singkat di Lombok, dan bang kondektur akan berangkat kerja
lagi menuju Surabaya. Obrolan mereka terdengar cukup romantis. Senang saya
mendengar obrolan mereka. Tidak saya sangka, bang kondektur sangar ini ternyata
romantis sekali pada istrinya. Muka sangar hati sinetron ternyata.
17.00 WITA Terminal
Mandalika (Bertais, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat). Hp mas Koes masih
saja belum bisa dihubungi. Kami menunggu jemputan pak Bowo, saudara Ipenk. Saat
di terminal Mandalika, pak Bowo juga susah dihubungi. Ditelepon tidak diangkat,
disms tidak dibalas. Resah kami duduk berjejer di bangku terminal sambil mendekap
carier masing-masing. Agak lama, pak Bowo membalas sms kami. Ternyata beliau
sedang apel sore di kantor. Maklum, beliau adalah anggota TNI. Asli Salatiga-Jawa
Tengah, ditempatkan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kami berusaha
sabar menunggu kedatangan pak Bowo. Saya jalan-jalan keluar terminal seorang
diri. Ipenk dan Surya berleha-leha duduk di bangku terminal sambil menjaga tas
kami. Saya mencari counter Hp. Saya beli sebuah kartu perdana seharga 6 ribu
rupiah, nomor XL. Kata teman saya yang di Jawa, sinya XL di gunung Rinjani kuat
sampai puncak. Penduduk Lombok 90% lebih menggunakan XL. Setelah mendapat
sebuah kartu perdana, saya kembali bergabung dengan 2 sahabat saya di bangku
panjang terminal. Hampir jam 6 sore, pak Bowo datang menjemput kami dengan
Panther hijau tuanya. Dan saat itu juga mas Koes baru membalas respon sinyal Hp
saya, tadi Hpnya lowbat katanya. Saya bilang sudah ada yang menjemput kami dan
sudah ada tempat yang siap menampung kami. Mas Koes ikut tenang.
18.00 WITA Sampailah
kami di rumah pak Bowo. Sebuah rumah di tengah-tengah perumahan/asrama koramil
gabungan, orang-orang biasa menyebutnya Asrama Gebang. Pak Bowo dan bu Bowo, keduanya adalah anggota
TNI. Sudah dikaruniai seorang putri, nama Sasa kalau saya tidak salah ingat,
usianya 7 tahun kalau saya tidak salah ingat juga. Malam ini kami sudah
terselamatkan. Bu Bowo sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk kami. Setelah
kami bergantian bersih-bersih badan, kami melahap hidangan sudah dipersiapkan
khusus untuk kami.
Agak malam mas Koes maen ke rumah pak Bowo. Kos mas Koes
lumayan dekat dengan rumah pak Bowo. Ngobrol-ngobrol di teras rumah pak Bowo. Saya,
Ipenk, Surya, keluarga pak Bowo, mas Koes. Obrolan tidak jauh dari gunung
Rinjani dan Lombok. Surya agak antusias tanya-tanya tentang Gili Trawangan. Saya
belum tertarik membicarakan tempat lain selain Rinjani. Selesai obrolan, saya
diantar mas Koes belanja logistik. Ternyata harga barang-barang di Alfamart
Lombok dan Jawa, sama juga. Saya kira di Lombok jauh lebih mahal. Hehehe...
Selesai belanja, saya dikembalikan lagi ke rumah pak Bowo. Waktunya
bagi saya, Ipenk dan Surya untuk istirahat. Sebelum tidur, kami packing dulu. Besok
jam 8 pagi kami harus berangkat ke daerah Senggigi. Kantornya mas Bintoro. Oleh
mas Bintoro, kami disuruh berangkat baremng dia dari kantornya di daerah
Senggigi, diantar mobil kantor yang memang akan menuju Sembalun juga.
Ipenk dan Surya tidur di ruang tamu. Saya tidur di kamar
Sasa, dengan nuansa pink.
Ya Allah, terima kasih. Saya sudah di Mataram, dan ini kenyataan
bukan sekedar mimpi. Saya tepok jidat saya agak keras, sakit!!!! Bukan mimpi!!!
Berkali-kali saya menahan senyum. Senyum bahagia, terharu, agak sedih, agak
merasa bersalah, karena liburan kali ini saya tidak bersama keluarga di kampung
halaman. Maafkan saya....
Tidurrrrrrr..........