Kamis, 11 Agustus 2011

THE ELEVEN DAYS (Episode 2)


PERJALANAN MENUJU PULAU LOMBOK
Hari 1
06.30 WIB, baru 5 hari yang lalu saya melakukan dua trip, nanjak ke gunung Merapi bersama teman saya dari Malang dan Ruli, kemudian langsung lanjut camping di Gedong Songo (Ungaran) bersama teman-teman penggiat alam dari Jateng dan DIY.
Hari ini saya akan memulai trip lagi menuju Pulau Lombok. Bersama teman saya Ipenk (cowok, kota asal Semarang-Jateng, kerja di Salatiga-Jateng) dan teman Ipenk, Surya namanya (cowok, kota asal Jakarta, kerja di Surabaya).
Saya akan naek kereta api dari stasiun Purwosari, Surakarta, Jawa Tengah. Rumah saya di Boyolali kota (Jawa Tengah), kira-kira jarak 1 jam dengan stasiun Purwosari. Nanti ketemu Ipenk di Purwosari. Dan Surya naek dari Surabaya dengan kereta yang sama.
Rencana awal, saya akan nebeng kakak laki-laki saya menuju stasiun Purwosari naek motor jam 07.00 WIB. Karena kebetulan kakak saya kerja di daerah Surakarta, searah dengan stasiun Purwosari.
Saya masih menunggu Ruli (cewek, sahabat saya). Senter saya di rumah Ruli, karena waktu saya naek Merapi 5 hari yang lalu, senter saya terbawa di tas teman, kemudian Ruli yang ngerawatnya. Hari ini katanya Ruli akan mengantar senter saya ke rumah. Tapi saya tunggu belum datang juga. Ruli sms saya, bahwa dia ingin mengantar saya ke stasiun Purwosari sekalian dia berangkat ke Jogja.

07.36 WIB, sudah lewat jam 07.00 WIB, tapi Ruli belum datang juga. Deg-deg’an menunggu Ruli, soalnya jadwal kereta saya berangkat jam 08.36 WIB. Jarak rumah ke stasiun kira-kira 1 jam, itu kalau jalanan tidak macet. Hari-hari ini adalah hari rawan macet, maklum musim liburan.
Akhirnya Ruli datang juga, agak lega. Berangkat dari rumah, dianter Ruli naek motor menuju stasiun Purwosari. Agak deg-deg’an selama perjalanan, takut ketinggalan kereta. Maklum, trip ini sudah saya impikan lebih dari 1 tahun yang lalu. Di tengah perjalanan, Ruli tiba-tiba mengucap istighfar dengan lantang. Ternyata dia lupa membawakan senter saya. Ya Allah, kami sedang buru-buru, ada saja yang kurang. Saya makin deg-deg’an saja. Ruli semakin merasa bersalah. Berusaha mampir di sebuah toko untuk membelikan saya senter, tapi toko tersebut ternyata tidak jual senter. Saya berusaha menghibur Ruli biar dia tidak begitu merasa bersalah, walaupun sebenarnya saya juga agak deg-deg’an dan bingung. Tambah anggaran lagi, batin saya. Hehehe....
Saya bilang ke Ruli, saya bisa beli senter nanti di perjalanan. Kalau kebanyakan mampir, saya takut ketinggalan kereta.

Sampai stasiun yang dituju, entah ngantuk atau apa, saat akan masuk pintu parkir stasiun, kami malah salah masuk. Bukannya masuk pintu parkir, malah masuk gang sebelah stasiun. Saya juga sok yakin banget, ya sudah lanjut masuk gang saja, siapa tau nanti ada gang sempit menuju parkiran. Ternyata pikiran saya salah!!! Sampai ujung gang tiada hasil. Padahal kami dalam keadaan sangat buru-buru. Ya sudah kami putar balik kendali, lalu masuk pintu parkir yang sesungguhnya. Ternyata ada tukang becak yang dari tadi memperhatikan kami. Saat kami masuk pintu parkiran, bapak tadi nyeletuk “Salah pintu ya mbak??”, sambil tertawa ngakak. Kami sudah tidak sempat menunjukkan muka malu (mungkin karena memang urat syarat kemaluan kami sudah putus, atau karena kami dalam keadaan sangat tegang, entahlah. Kami sudah tidak mau menghabiskan waktu untuk memikirkan hal konyol ini). Masuk stasiun sudah jam 08.40 WIB, melebihi jadwal keberangkatan kereta. Ipenk sudah menunggu di stasiun sejak jam 08.00 tadi. Dia diantar Aseng (cowok, teman Ipenk dari Kartasura-Jateng). Tadi malam Ipenk sengaja menginap di rumah Aseng, karena rumah Aseng lebih dekat dengan stasiun.
Untung kereta yang akan saya gunakan belum datang, agak terlambat.
Alhamdulillah......
Satu ketegangan saya sudah berkurang. Di stasiun saya dan Ipenk saling check list alat-alat kami. Cuma senter yang kurang. Ipenk pesan ke Surya, biar dibelikan senter. Karena kereta sampai Surabaya masih sekitar jam 1 siang, jadi Surya masih punya banyak waktu untuk prepare.
Selesai check list peralatan, saya dan Ipenk berpamitan pada Ruli dan Aseng, kami masuk ke peron. Menunggu kereta Sri Tanjung jurusan Banyuwangi. Duduklah kami bersebelahan di kursi peron. Ipenk di samping kiri saya. Di samping kanan saya seorang ibu 50an tahun, dengan logat Jawa Timurnya berusaha mengajak ngobrol dengan saya. Saya bukan tipe wanita yang suka memulai obrolan. Kalau tidak diajak dulu, saya biasanya malas untuk memulai perbincangan. Untung saya sedikit-sedikit mengerti logat Jawa Timur. Agak nyambung sih. Tapi, lama-lama ini ibu ngomongnya ngelantur. Saya tanya apa, ibunya jawab apa. Lalu ibunya pinjam Hp saya, beliau minta tolong dihubungkan sebuah nomor. Entah nomor siapa saya tidak tahu, saya juga malas untuk meminta penjelasan. Ternyata nomor yang dihubungi beliau tidak aktif. Kemudian beliau mengembalikan Hp saya. Makin lama ibu di samping saya makin aneh. Untung tidak lama kemudian kereta saya datang.
Jam 08.50 WIB, kereta Sri Tanjung akhirnya tiba juga dari Jogja, kereta yang membuat senam jantung cacing-cacing di perut saya. Saya dan Ipenk berjalan beriringan dengan masing-masing membawa carrier besar menuju kereta. Mencari gerbong sesuai tiket kami.

09.05 WIB Kereta Sri Tanjung tinggal landas dari stasiun Purwosari, Surakarta, Jawa Tengah. Seperti biasa, saya ini makhluk pelor. Sekali nempel, langsung molor. Sekali-sekali bangun melihat sikon kanan kiri depan belakang. Melihat jam tangan, mengeluarkan my Yellow Minibook (buku kecil, catatan perjalanan saya), yang biasa saya tenteng kemana saja saya pergi. Mencatat jam dan tempat, kemudian saya tidur lagi.
Di depan saya duduk Ipenk, seorang ibu (40an tahun) dan putranya (4an tahun). Ipenk sepertinya terkadang ngobrol dengan ibu di sebelahnya. Tapi saya tetap dengan kesibukan saya, MOLOR. Tidak peduli mereka ngrumpi apa, atau bahkan mungkin ngrumpiin saya, saya tidak peduli. MOLOR is the best.

11.00 WIB Magetan (stasiun Barat)
11.30 WIB Madiun
Saat saya bangun, ibu di sebelah Ipenk membuka obrolan dengan saya. Ibu ini sangat ramah ternyata. Beliau berasal dari Jogja, asli Jogja dapat suami orang Jawa Timur (daerah Kriyan, dekat Surabaya). 13 tahun menikah, beliau baru dikarunai seorang putra. Beliau sedikit bercerita tentang perjuangan beliau dalam pernikahannya. Mendapat cercaan dari keluarga suami, karena mereka lama menikah belum juga dikaruniai seorang anak. Sabar menanti, sabar meminta pada Yang Kuasa, sabar berusaha, sabar menghadapi tantangan dari luar. Keren memang, salut saya. Beliau adalah pengusaha sarung tangan dari kulit kambing dan domba. Beliau menceritakan bagaimana beliau dan suaminya berjuang membesarkan usahanya. Berbisnis itu harus berani rugi di awal katanya. Beliau sudah berkali-kali jatuh terperosok dan kemudian bangun lagi dengan perlahan. Tapi alhamdulillah, sekarang usaha beliau sudah menunjukkan sinar terang.
Beliau akan menuju Kriyan, tempat mertuanya. Suaminya tidak turut serta, karena di ambang keberangkatan (sudah sampai stasiun Jogja), suaminya ditelepon dari kantor, ada job urgen dadakan. Satu hal yang lebih urgen harus dipilih. Suaminya batal ikut mudik dan akan menyusul esok harinya. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan sarung tangan besar di daerah Jogja (sarung tangan dari kulit kambing dan domba). Dari sinilah beliau dan suaminya belajar bisnis sarung tangan.

Belum puas rasanya saya mengorek ilmu dari beliau, sampai akhirnya beliau harus turun di stasiun Wonokromo (sekitar jam 13.00 WIB). Saya kembali terlelap selesai obrolan tadi. Kemudian naik seorang penumpang baru, wanita (40an tahun lebih) menggantikan posisi ibu Jogja yang tadi. saya sadari saat saya sesaat terbangun sebentar dan tidur kembali.
Di stasiun mana saya lupa, kereta membalikkan lokomotif. Ipenk tidak tahan bila jalan mundur, saya bertukar tempat dengan Ipenk. Saya duduk bersebelahan dengan penumpang baru tadi. Tanpa peduli seperti biasa, MOLOR lagi saya.

14.30 WIB Surabaya (stasiun Gubeng)
Seorang wanita 45an tahun, membawa 1 orang putri (sekitar 5 tahun), 1 orang putra (sekitar 10 tahun), 2 buah tas besar, 2 buah tas kresek agak besar berisi makanan kecil, tiba-tiba mengagetkan saya dan Ipenk. Nomor kursi beliau sama persis dengan nomor kursi kami. Kami saling menunjukkan tiket. Suasana di gerbong kami agak memanas dan ramai. Penumpang lain juga pada ikut-ikutan nimbrung. Petugas kebersihan dan petugas dapur ikut nimbrung juga berusaha mencarikan jalan keluar. Benar, 2 nomor kursi di tiket kami sama. Bagaimana bisa terjadi, kami juga bingung. Saya dan Ipenk merasa kasihan juga dengan rombongan keluarga itu. Berhimpit-himpitan kami duduk di deretan kursi kami. Untung saya dan Ipenk punya jatah 3 kursi, karena awalnya ada satu teman Ipenk yang ingin ikut trip ini, sudah kami belikan tiket kereta, tapi dia batal ikut. Kami berenam duduk di 2 deret kursi kereta (masing2 deret jatah untuk 3 orang). Sangat sesak, karena barang bawaan kami masing-masing sangat banyak. Tempat barang di atas kami sudah penuh. Cuma cukup untuk satu tas carier saya (carier pinjaman dari Mbak Ipung), carier Ipenk kami letakkan di tengah-tengah sela deret kursi. Ibu tadi masih saja terus ngomel (sebut saja bu Bunga, saya lupa tidak menanyakan siapa namanya). Beliau bilang, suami beliau sudah pesan tiket sejak sebulan yang lalu. Ipenk juga ikut-ikutan ngomel tapi lirih, kami juga sudah beli tiket sejak satu bulan yang lalu. Saya hanya membatin, sudahlah bu bersyukur saja masih bisa duduk dari pada berdiri sampai Banyuwangi. Hmmmmm,,,

15.40 WIB, Sidoarjo (stasiun Bangil)
Surya naik dari sini. Awalnya kami menyuruh Surya duduk di kursi kosong kami. Tapi karena ada kejadian tadi, batal dey. Tapi Surya sudah terlanjur masuk ke gerbong kami. Ipenk menjelaskan kejadian tadi ke Surya, dan menyuruh Surya menduduki kursinya sendiri. Kemudian gantian Surya yang curhat ke Ipenk, ternyata Surya masuk ke kereta sebagai penumpang ilegal. Gubraaaaakkkk....
Nyali gede nnih Surya. Padahal nanti masih ada pengechek’an tiket di Probolinggo. Kami punya 3 tiket, 2 tiket sudah kami mintakan stempel pemeriksaan KTP di stasiun Purwosari, satu tiket lagi belum ada stempelnya. Soalnya sekarang pembelian tiket harus menggunakan tanda pengenal (KTP,SIM atau sejenisnya). Dan ketika masuk peron, ada pemeriksaan kesesuaian tiket dengan tanda pengenal. Kami menyusun strategi dengan memanfaatkan musibah kesamaan kursi. Surya duduk di belakang gerbong, dekat kamar mandi.

Sampailah di Probolinggo, jam berapa saya lupa. Petugas pengechek’an tiket sudah sampai di gerbong kami. Agak deg-deg’an juga. Mungkin bapak petugas ini sudah dijelaskan petugas dapur tadi tentang kesamaan kursi kami. Bapak petugas mengecheck tiket ibu Bunga duluan, dibacanya dengan teliti. Ternyata tiket ibu itu yang salah. Ternyata tiket beliau untuk bulan kemarin bukan bulan ini. Berarti kami yang benar. Dengan gagahnya saya dan Ipenk merasa menang. Tapi dengan legowo kami tetap mengijinkan ibu dan 2 anaknya duduk berhimpitan di kursi kami. Karena memang sifat dasar kami tidak sombong, suka menolong dan gemar menabung sehingga kami punya tabungan untuk beli tiket kereta ke Banyuwangi. Saat kami menunjukkan tiket kami, bapak petugas hanya sedikit melirik dan bilang, “Yup benar, tiket kalian yang benar, ibu ini yang salah”. Bahkan tiket kami tidak dipegang oleh bapak petugas, tidak dikasih lubang pemeriksaan seperti di stasiun-stasiun sebelumbnya, seperti tiket-tiket penumpang yang lain. Dan dengan bangga kami bilang ke bapak petugas, “Pak, tiket kami 3 buah, teman kami yang satu mengalah, dia duduk di belakang gerbong, di depan kamar mandi”.
“Okey”, jawab bapak petugas dengan mantab.
Ibu Bunga, masih dengan ekspresi ketusnya, langsung telepon suaminya. Ternyata beliau sudah pesan untuk perjalanan PP. Tiket yang satunya juga salah bulan. Di telepon beliau ngomel habis-habisan ke suaminya tentang kesalahan bulan di tiket yang di pesan. Sepertinya memang ibu yang satu ini orangnya agak gak enak.
Bapak petugas meneruskan perjalanan mengecheck tiket, sampai akhirnya tidak terlihat lagi oleh kami. Lalu Ipenk jalan ke belakang menemui Surya yang sebelumnya sudah kami training tentang persandiwaraan tadi. Ternyata kami berhasil. Uuuffffftttt legaaaaa....
Awal trip yang penuh ketegangan. Heheheeee,,,,
Kembali ke ibu Bunga, beliau dapat kabar dari suaminya. Suaminya sudah datang ke stasiun tempat beliaupesan tiket. Tiket yang salah bulan tadi masih bisa direvisi, tapi mundur satu hari. Alhamdulillah, dari pada tidak bisa sama sekali.

Ibu Bunga turun di daerah Banyuwangi, sebelum stasiun terakhir. Ibu yang di sebelah saya juga turun sebelum stasiun terakhir. Saya, Ipenk dan Surya akan turun nanti di stasiun terakhir.
Kursi kami longgar, akhirnya Surya sudah bisa duduk nyaman di kursi kereta. Ipenk kenal Surya satu tahun yang lalu d sewaktu naek ke Semeru. Saya baru ini kenel Surya. Kami bertiga ngobrol-ngobrol dan sesekali berfoto-foto narsis di kereta. Entah kenapa mata saya tertuju pada gigi depan Surya dan Ipenk. Dan saya ngakak dalam hati. Kami bertiga sama-sama punya satu gigi depan yang keropos sebagian. Dengan polosnya saya ungkapkan itu di depan Ipenk dan Surya. Mereka berdua ngakak tak henti-henti. Dan kami menamakan tim ini GOMPIL PAL. Nama yang cukup manis (menurut kami, walau agak memaksa untuk mengesahkan sebutan manis).

21.30 WIB, Banyuwangi (stasiun Banyuwangi Baru)
Akhirnya saya bisa keluar dari pengapnya kereta, setelah 11 jam berada di dalamnya. Oiya, saya lupa bercerita tentang toilet kereta. Saya baru 2 kali naik kereta jarak jauh. Dan baru sekali tadi saya masuk toilet kereta api. Ternyata lubang toilet langsung menuju keluar kereta. Jadi kalau kita buanga apa-apa lewat lubang toilet, kotoran itu akan langsung jatuh ke rel. Tadi pas di kereta saya sebenarnya kebelet ‘puppy’, tapi karena melihat kondisi toilet yang seperti itu hilang sudah nafsu saya untuk ‘puppy’. Hikz....
Tak lupa saya sempatkan bernarsis-narsis ria di stasiun. Kemudian kami jalan kaki bertiga dengan gagah menggendong carier masing-masing menuju pelabuhan Ketapang (Banyuwangi-Jawa Timur), jaraknya dekat dengan stasiun. Jalan kaki paling cuma 15 menit. Kali ini saya juga kelihatan gagah lho, saya khan bawa carier (walaupun Cuma pinjaman, kecil lagi). Jarang sekali anda melihat saya menggendong carier, biasanya daypack Eiger kecil yang nangkring di punggung dan tas rajutan coklat yang dengan setia tersampir di pundak saya.

Sampai di Pelabuhan kami beli tiket untuk 3 orang dewasa @Rp. 6.000,00
22.10 WIB, Kapal fery yang kami naiki berangkat meninggalkan pulau Jawa. Good bye Java, see U next time. Kami bertiga mencari tempat paling atas di kapal. Saya ini gampang mabuk. Apalagi kalau di kapal seperti ini. Saya sengaja jalan-jalan terus di atas kapal sambil melihat air laut, untuk sekedar menghilangkan rasa pusing dan mual. Narsis dan foto-foto, tak terlewatkan.
Kami bertiga menikmati angin laut di atas kapal. Posisi pandang kami tepat di atas parkiran. Kami lihat di bawah kami sebuah truk terparkir. Saya melihatnya sangat ngeri. Truk itu terombang-ambing ke kanan kiri begitu kerasnya kayak hampir terlempar ke kanan kiri, karena gerakan kapal yang terkena ombak yang lumayan besar.

22.50 WIB, 23.50 WITA Pelabuhan Gilimanuk (pulau Bali). BALI, saya sudah berada di pulau Bali, rasanya seperti mimpi. Alhamdulillah.
Saya baru sadar kalau saya sudah berada di WITA, saat di pelabuhan Gilimanuk ada seseorang menanyakan ke saya, jam berapa sekarang. Saya jawab, jam 11 malam. Orang itu kaget, lalu dia tanya lagi ke saya, “Jam Jawa apa jam Bali mbak?”.
Tujuan kami selanjutnya adalah pelabuhan Padang Bai, Bali.

Hari 2
00.00-01.30 WITA Tidur terlelap di bawah pohon kelapa, di pelataran pelabuhan Gilimanuk, menunggu Cahya (cowok, teman Ipenk dari Jawa yang kerja di daerah Gilimanuk). Kata Cahya, bis yang menuju ke Padang Bai adanya sekitar jam setengah 3 pagi. Rencananya kami akan mampir dulu di tempat Cahya. Tapi Cahya baru perjalan dari Banyuwangi ke Gilimanuk. Sebenarnya kapalnya sudah di pelabuhan, tapi baru antri bersandar.

Cukup lama kami menunggu Cahya di bawah pohon kelapa. Sudah hampir jam setengah 3, kami memutuskan untuk keluar pelabuhan, tak lagi menunggu Cahya.
Di pintu keluar pelabuhan, KTP kami tidak dicheck oleh petugas. Ada beberapa polisi yang sedang bertugas di situ. Kami ditanya mau kemana, kami jelaskan dengan seksama. Mereka bilang pagi ini tidak ada bus menuju Padang Bai. Karena suasana macet liburan. Kami disarankan naik bus jurusan terminal Ubung, Denpasar-Bali. Kami menurut saja, saat salah satu polisi menyetop sebuah bus menuju terminal Ubung. Saya sebenarnya melihat, sopir bus memberikan salam tempel ke salah satu polisi. Tapi kami tidak mau ambil pusing. Kami langsung naik saja tanpa menanyakan tarif bus terlebih dahulu (02.40 WITA). Di dalam bus kondektur menarik pembayaran tiket sebesar @Rp. 40.000,00. Saya serahkan uang kami dengan ikhlas. Karena saya paling wanita dalam tim ini, maka saya yang memegang keuangan di sini. Saya mengobrol dengan penumpang di seberang saya, katanya kalau hari biasa tarifnya @Rp. 30.000,00. Karena ini musim liburan, makanya lebih mahal. Saya memang sudah menyiapkan budget lebih untuk mengantisipasi kenaikan tarif transportasi. Karena timing saya sebenarnya kurang tepat untuk liburan, waktu dimana tarif transportasi naik dari tarif biasa. Tapi bagaimana lagi, hanya di liburan ini saya punya waktu agak panjang untuk melakukan trip yang agak jauh.
Arah keluar dari Gilimanuk agak longgar. Tapi arah ke Gilimanuk padatnya gak ketulungan. Banyak sekali kendaraan yang nakal memakai jalur kami untuk salip menyalip. Yah, saya maklum, ini indonesia sist!!! Jalur arah ke Gilimanuk macet. Jalur saya, arah keluar dari Gilimanuk juga jadi ikut-ikutan macet kena imbas nakal dari pengguna jalan lawan arah. Di hutan Gilimanuk, sopir-sopir kendaraan di jalur saya pada ngambek. Semua mesin kendaraan dimatikan. Entah sudah berapa lama bus yang saya tumpangi mematikan mesinnya. Saya baru tahu, karena saya baru terbangun dari tidur lelap saya (seperti biasa, PELOR!!!).

06.00 WITA, rupanya bus yang kami tumpangi sudah menghidupkan mesinnya, tapi entah dari jamberapa saya tidak tahu. Biasalah, kalau saya bisa menuliskan jam berarti saya baru saja bangun tidur. Heheheeee....
Kami masih terjebak macet, jalan pelan-pelan.

06.45 WITA, Alhamdulillah, terbebas dari macet. Dari saya berangkat kemarin saya terus berhubungan lewat Hp dengan Mas Bintoro dan Mas Koes, teman saya di Lombok. Rencananya kami akan menginap di rumah Mas Bin, dan Mas Koes yang akan menjemput kami di terminal Mandalika karena Mas Bin diperkirakan pas saya sampai Mataram (Lombok), dia dapat tugas menjemput tamunya orang Inggris yang baru datang dari pulau Komodo.

09.45 WITA, Terminal Ubung, Denpasar-Bali.
Di sini banyak sekali tersebar calo. Sebelumnya kami sudah dijelaskan oleh kondektur bus yang baru kami tumpangi tadi. Kami bertiga menunggu bus jurusan Padang Bai di dalam terminal. Tiap calo yang tanya mau kemana, kami selalu bilang “nunggu jemputan”. Biar aman.
Bus yang kami tunggu-tunggu ternyata malah tidak masuk terminal. Bus itu dengan santainya melaju tanpa menoleh satu derajatpun ke kami. Kontan saja kami agak kesal, mangkel, dan satu lagi agak bingung. Kami tidak tahu menahu, harus naik bus apa selain bus tadi. Mau tanya ke calo, sama saja masuk mulut harimau. Kami putuskan untuk keluar terminal dulu mencari ketenangan tanpa adanya hiruk pikuk ramainya calo. Belanja di Alfamart dulu. Nongkrong-nongkrong di depan Alfamart. Ipenk mencoba telepon temannya yang berdomisili di Bali, siapa tau ngerti. Saya juga berusaha, membuka-buka kontak Hp, siapa tahu saya juga punya teman di Bali yang bisa saya mintai petunyuk. Oiya, saya khan punya teman dari daerah Singaraja-bali, Mbok Sri namanya (mbok= panggilan mbak untuk orang Bali). Saya mencoba menghubunginya. Saya sms, tidak dibalas-balas, saya telepon tidak diangkat. Di seberang sana ternyata ada pos polisi. Saya mengajak Ipenk untuk bertanya ke polisi di seberang sana. Salah satu polisi menjelaskan ke saya dan Ipenk. Kemudian kami berdua kembali ke tempat tongkrongan, depan Alfamart. Ipenk dan Surya mencoba masuk terminal, mencari petunyuk yang dijelaskan polisi tadi. Saya menunggu di depan Alfamart sambil memantau tas kami. Sengaja kami tinggal di sini, karena kalau Ipenk dan surya masuk terminal bawa tas besar pasti jadi pusat perhatian dan mangsa para calo. Tak lama kemudian Ipenk dan Surya kembali ke tempat tongkrongan. Menurut cerita mereka, mereka tadi menemukan sebuah bus jurusan Sumbawa, namanya PO Titian Mas. Tadi Ipenk mencoba menghubungi Kondekturnya. Karena di dalam terminal terlalu banyak calo dan preman, agaknya kondektur bus tersebut agak takut untuk bertransaksi langsung dengan calon penumpang. Dengan berbisik-bisik lirih, sang kondektur menyuruh Ipenk untuk menunggu di depan terminal. Soal harga nanti sajalah, gampang katanya. Ipenk menurut saja. Kini kami bertiga stand by di depan terminal, tepatnya di depan pelataran Alfamart. Tak lama, bus yang dimaksud datang. Kami langsung disuruh naik, bus itu terus saja melaju pelan tak berani berhenti. Bisa dibayangkan betapa repotnya kami berlarian mencapai pintu bus sambil membawa carier. Apalagi saya seorang wanita, berlarian tanpa beban ngejar bus saja bagi saya sudah terlalu payah, apalagi saya masih harus menenteng sebuah carier berat dan menyandang tas rajutan saya. Saya tidak sempat memanggulkan carier di punggung saya. Waktu kami terlalu singkat. Ini lebih dari sebuah DIKSAR. Ilmu kecekatan terpakai di sini. Momen yang sangat membahayakan bagi saya. Ipenk sudah berhasil menaikkan carier dan tubuhnya ke dalam bus. Saya lempar carier ke arah kondektur yang sudah stand by di pintu bus. Setelah tangan kanan bebas dari carier, dengan sigap saya sahut pegangan besi di dekat pintu. Kondektur menyahut tangan kiri saya dengan cekatan. ‘Huppp yeaaaccchhh...
Saya berhasil menyusul Ipenk masuk ke dalam bus. Menyusul kemudian Surya. Tak begitu susah mungkin bagi pria. Saya dan Surya duduk di kursi plastik di bagian belakang bus. Karena bus memang sudah penuh. Kami tidak mendapatkan kursi empuk seperti penumpang yang lain. Ipenk duduk di depan, bukan di kursi penumpang juga. Ipenk mencoba mengajak komunikasi kondektur bus. Dia sms saya, dia bilang di depan ada seorang preman dari terminal Ubung yang ikut masuk mengikuti bus. Entah apa tujuannya kami kurang tahu. Yang jelas sang kondektur takutnya bukan main dengan preman tersebut. Sampai-sampai tidak berani bertransaksi harga dengan Ipenk. Di belakang bus, saya sibuk tanya sana tanya sini, saya introgasi satu-satu para penumpang. Yang naik dari terminal Ubung, rata-rata mereka kena tarif 250-300 ribu rupiah sampai Mataram (Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat). “Gubrak!!!”. Prediksi saya, Denpasar-Mataram Cuma sekitar 100 ribu. Hadeeew....
Sekitar 15 menit setelah kami naik bus, sang kondektur jalan ke belakang bus menemui saya dan Surya. Saya dan sang kondektur mulai bertransaksi harga. Awalnya dia minta 250 ribu per orang. Dengan agak takut, saya tawar 150 ribu per orang. Bagaimana tidak agak takut, saya menghadapi seorang pria bertato kadal (entah kadal atau cicak saya kurang jelas), di salah satu telinganya tertancap sebuah anting tindik (bahkan saya kalah feminin ternyata, saya saja tidak pake’ anting). Agak sangar ternyata bang kondektur satu ini. Tapi koq takut sama preman terminal. Sang kondektur tidak Acc dengan penawaran harga saya. Saya naik’kan penawaran jadi 500 ribu untuk 3 orang. Tidak juga diAcc. Saya lihat bang kondektur menelepon seseorang, kemudian dia sampaikan ke saya dia hanya bisa memberikan keringanan 50 ribu per orang, jadinya 200 ribu per orang. Saya masih memohon penurunan harga lagi. Lalu saya tanya, “Kalau kami turun di sini, bayarnya berapa?”. Bang kondektur bilang, “Sebentar mbak, saya konsultasikan lagi dengan petugasnya. Saya telepon dulu”.
Berjalanlah bang kondektur ke depan sambil telepon. Kemudian saya lihat dia malah duduk di depan. Saya tunggu lama, dia masih anteng duduk di depan. Saya dan Surya khawatir, nanti kalau tiba-tiba sudah sampai Mataram, kami harus bayar tarif tinggi, kami malah kerepotan. Saya susul bang kondektur ke depan. Saya colek-colek punggungnya. Kaget dia rupanya, dengan sedikit berbisik, dia menyuruh saya kembali duduk di belakang. Sepertinya dia sangat takut dengan preman di sebelahnya. Saya masih tidak mengerti dengan rasa ketakutannya itu. Saya nurut saja, kembali ke kursi plastik saya (kursi bulat, keras, tanpa sandaran). Saya dan Surya masih resah dengan pikiran kami tadi. Agak lama, bang kondektur baru mau menemui saya lagi. Lalu saya tanya lagi, “Bagaimana bang? Boleh kan 150 ribu per orang? Kami paling mentok hanya bisa ngasih segitu. Kalau gak boleh, mending kami diturunin di sini aja gak pa pa.” Nada bicara saya berangsur-angsur terdengar agak berani. Dan bang kondektur berangsur-angsur semakin terlihat gugup. Entah kerasukan atau gimana, bang kondektur Acc dengan harga saya. Saya malah jadi bingung sendiri, padahal tadi saya sudah nawar 500 ribu untuk 3 orang. Nah, sekarang saya kembali ke penawaran saya yang pertama 150 ribu per orang (kalau diakumulasi jadinya 450 ribu untuk 3 orang) malah diAcc. Tapi saya tidak mau ambil pusing, segera saya serahkan uang 450 ribu ke bang kondektur, sebelum dia sadar dan berubah pikiran.

11.45 WITA Pelabuhan Padang Bai. Antri beberapa saat, baru kemudian bus kami dapat giliran masuk kapal. Seluruh penumpang turun, jalan kaki ke kapal. Saya, Ipenk dan Surya cari tempat paling atas, seperti kemarin waktu nyebrang ke Bali. Penyebrangan kali ini beda ma kemarin. Puanaaaaaaaaasssssssssss.....
Kemarin nyebrangnya malam, jadi tidak semenderita ini.
Kepala saya sudah mulai pening. Perut mulai mual-mual. Saya cuoba untuk tetap bertahan, jangan sampai muntah. Berfoto-foto ria di atas kapal, salah satu usaha untuk mengalihkan pikiran biar tidak begitu merasakan rasa mual. Tapi, tetap saja. Berdiri terus saya capek, kalau duduk semakin mual. Bingung saya harus bagaimana. Saya berusaha menyibukkan diri melupakan rasa mual.  Mondar-mandir berkeliling kapal seperti orang setress saya lakukan. Ipenk dan Surya saya lihat sedang asik ngobrol dengan seorang pria penumpang kapal, satu bus juga dengan kami. Rupanya pria itu pernah juga naek ke Rinjani. Mereka sedang asik ngobrol tentang gunung. Dan saya, sedang asik mencari solusi penghilang mual. Dan pada akhirnya, saya tidak kuat. Saya sekarang sibuk mencari kantong plastik. Kantong plastik mana, mana kantong plastik. Saya ambil sebuah kantong plastik berisi cemilan di samping surya, saya keluarkan dengan paksa semua isi kantong plastik. Saya tidak sempat mencari tempat sembunyi, dan “Huweeeekkkk, huweeeekkkk”. Oh tidak, saya agak malu (masih sempat saya merasa malu). Saya mabuk laut. Serius, saya malu. Sirna sudah kesangaran saya (sangar??? ‘h, enggak ding!! Hehehe). Agak lebih mendingan ternyata setelah bisa muntah. Lalu saya cari tempat yang lebih nyaman, saya duduk di lantai kapal. Duduk merunduk menekukkan kepala ke lutut, berusaha memejamkan mata. Berusaha untuk tidur. Perjalanan di atas laut baru 1/4  perjalanan. Ya Allah, kuatkan saya. Beberapa saat saya bisa tertidur, kemudian bangun mengangkat kepala melihat sekitar. Haducchhh, pusing malah. Kembali saya ke posisi semula, berusaha tidur seperti tadi. Berkali-kali saya terbangun dan tertidur lagi. Benar-benar tidak nyaman, saya ingin segera sampai daratan. Ya Allah, segera dekatkan kapal saya dengan pulau Lombok. Setelah lama saya tunggu-tunggu, kapal hampir sampai ke pelabuhan. Selama di kapal tadi, saya menghubungi mas Koes susah banget. Nomornya tidak aktif. Padahal mas Koes yang dapat tugas dari mas Bintoro untuk menjemput kami di Mataram. Mataram sudah hampir dekat dengan kami. Karena mas Koes tidak bisa dihubungi, kami mencari alternatif lain. Ipenk menghubungi temannya yang di Lombok, tapi hasilnya nihil. Ipenk sebenarnya punya keluarga agak jauh, yang tinggal di Lombok, pak Bowo namanya. Pak Bowo juga sudah tahu kalau Ipenk ada kunjungan ke Lombok. Tapi sayangnya, Ipenk tidak punya nomor Hp beliau. Ipenk mencoba telepon keluarganya di Salatiga, menanyakan nomor pak Bowo. Dapat!!! Pak Bowo berhasil dihubungi. Beliau menyanggupi untuk menjemput kami di terminal Mandalika, Lombok. Dan akan memberi tumpangan untuk kami bermalam di rumahnya. Alhamdulillah, tertolong juga kami. Sudah ada alternatif harapan baru :-)

15.40 WITA Pelabuhan Lembar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ya Allah, ini bukan mimpi kan??? Saya berada di LOMBOK pemirsa!!!! Bayangpun, LOMBOK!!! Saya takut, saya takut terbangun dari mimpi ini. Bukan mimpi, bukan mimpi! Saya tersenyum dalam hati. Saya berada di Lombok, bagaikan mimpi. Hus hus hus!! Saya berusaha mengumpulkan kesadaran. Saya tidak sedang bermimpi. Saya benar-benar sudah di Lombok, tapi memang saya belum menyentuh tanah Lombok. Ya, ini bukan mimpi. Kami masuk ke bus lagi, dengan posisi sama seperti tadi sebelum masuk kapal. Bus kami masih antri untuk dapat keluar dari kapal.

16.00 WITA Bus kami baru bisa mendapat kesempatan keluar dari pelabuhan.
Saya terlibat obrolan dengan bang kondektur dan beberapa penumpang lain. Dengan nada agak kesal dan sedikit menggelikan, bang kondektur cerita, dia baru saja kalah judi 3 juta. Astaghfirullah, 3 juta??? Plis dech, mending dikasih ke saya bang!!! Kata dia, setiap di atas kapal saat penyeberangan biasanya para sopir dan kondektur pada ngumpul maen judi, untuk mengisi waktu luangnya di kapal. Sudah menjadi budaya katanya. Lebih dari 80% dari mereka ikut judi. Keluar pelabuhan, wajah bang kondektur jadi agak pucat. Agak geli sih saya dengan tingkah bang kondektur, tapi agak kasihan juga. Saya perhatikan dia sedang menelepon seseorang. Sepertinya dia telepon istrinya yang tinggal di Lombok. Saya mendengar percakapan teleponnya. Suara wanita di seberang pesawat telepon sana juga samar-samar agak terdengar. Bang kondektur masih punya selipan uang 1 juta. Rencananya akan diberikan untuk istrinya. Mereka akan mengatur pertemuan singkat di Lombok, dan bang kondektur akan berangkat kerja lagi menuju Surabaya. Obrolan mereka terdengar cukup romantis. Senang saya mendengar obrolan mereka. Tidak saya sangka, bang kondektur sangar ini ternyata romantis sekali pada istrinya. Muka sangar hati sinetron ternyata.

17.00 WITA Terminal Mandalika (Bertais, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat). Hp mas Koes masih saja belum bisa dihubungi. Kami menunggu jemputan pak Bowo, saudara Ipenk. Saat di terminal Mandalika, pak Bowo juga susah dihubungi. Ditelepon tidak diangkat, disms tidak dibalas. Resah kami duduk berjejer di bangku terminal sambil mendekap carier masing-masing. Agak lama, pak Bowo membalas sms kami. Ternyata beliau sedang apel sore di kantor. Maklum, beliau adalah anggota TNI. Asli Salatiga-Jawa Tengah, ditempatkan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kami berusaha sabar menunggu kedatangan pak Bowo. Saya jalan-jalan keluar terminal seorang diri. Ipenk dan Surya berleha-leha duduk di bangku terminal sambil menjaga tas kami. Saya mencari counter Hp. Saya beli sebuah kartu perdana seharga 6 ribu rupiah, nomor XL. Kata teman saya yang di Jawa, sinya XL di gunung Rinjani kuat sampai puncak. Penduduk Lombok 90% lebih menggunakan XL. Setelah mendapat sebuah kartu perdana, saya kembali bergabung dengan 2 sahabat saya di bangku panjang terminal. Hampir jam 6 sore, pak Bowo datang menjemput kami dengan Panther hijau tuanya. Dan saat itu juga mas Koes baru membalas respon sinyal Hp saya, tadi Hpnya lowbat katanya. Saya bilang sudah ada yang menjemput kami dan sudah ada tempat yang siap menampung kami. Mas Koes ikut tenang.

18.00 WITA Sampailah kami di rumah pak Bowo. Sebuah rumah di tengah-tengah perumahan/asrama koramil gabungan, orang-orang biasa menyebutnya Asrama Gebang.  Pak Bowo dan bu Bowo, keduanya adalah anggota TNI. Sudah dikaruniai seorang putri, nama Sasa kalau saya tidak salah ingat, usianya 7 tahun kalau saya tidak salah ingat juga. Malam ini kami sudah terselamatkan. Bu Bowo sudah menyiapkan hidangan makan malam untuk kami. Setelah kami bergantian bersih-bersih badan, kami melahap hidangan sudah dipersiapkan khusus untuk kami.

Agak malam mas Koes maen ke rumah pak Bowo. Kos mas Koes lumayan dekat dengan rumah pak Bowo. Ngobrol-ngobrol di teras rumah pak Bowo. Saya, Ipenk, Surya, keluarga pak Bowo, mas Koes. Obrolan tidak jauh dari gunung Rinjani dan Lombok. Surya agak antusias tanya-tanya tentang Gili Trawangan. Saya belum tertarik membicarakan tempat lain selain Rinjani. Selesai obrolan, saya diantar mas Koes belanja logistik. Ternyata harga barang-barang di Alfamart Lombok dan Jawa, sama juga. Saya kira di Lombok jauh lebih mahal. Hehehe...
Selesai belanja, saya dikembalikan lagi ke rumah pak Bowo. Waktunya bagi saya, Ipenk dan Surya untuk istirahat. Sebelum tidur, kami packing dulu. Besok jam 8 pagi kami harus berangkat ke daerah Senggigi. Kantornya mas Bintoro. Oleh mas Bintoro, kami disuruh berangkat baremng dia dari kantornya di daerah Senggigi, diantar mobil kantor yang memang akan menuju Sembalun juga.
Ipenk dan Surya tidur di ruang tamu. Saya tidur di kamar Sasa, dengan nuansa pink.
Ya Allah, terima kasih. Saya sudah di Mataram, dan ini kenyataan bukan sekedar mimpi. Saya tepok jidat saya agak keras, sakit!!!! Bukan mimpi!!! Berkali-kali saya menahan senyum. Senyum bahagia, terharu, agak sedih, agak merasa bersalah, karena liburan kali ini saya tidak bersama keluarga di kampung halaman. Maafkan saya....
Tidurrrrrrr..........

THE ELEVEN DAYS (Episode 1)

PROLOG
Dulu saya punya sebuah mimpi. Saya sebut mimpi, karena saya kurang yakin itu bisa terwujud. Saya punya banyak mimpi yang agak mustahil. Tapi ternyata mimpi-mimpi mustahil itu perlahan satu per satu bisa terwujud.
Mimpi saya kali ini adalah TOP OF RINJANI 3726 mdpl...
Mimpi ini sebenarnya hampir terwujud tahun kemarin. Tapi karena beberapa hal, tahun kemarin saya membatalkannya dengan lapang dada tapi disertai rasa kecewa.

Puncak Gunung Rinjani
Trip saya kali ini sebenarnya hanya satu tujuan, yaitu puncak gunung RINJANI (dengan ketinggian 3726 mdpl, terletak di Pulau Lombok, Propinsi Nusa Tenggara Barat). Namun saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan mendapat banyak bonus dalam trip saya kali ini. Bukan hanya Rinjani yang saya peroleh, saya juga sempat mengunjungi Pantai Senggigi, Gili Trawangan, tempat camp yang indah di daerah Sesaot (Aiknyet) bersama sahabat saya Bang Koes Nadi beserta sahabat-sahabatnya dari PALASMA (Pecinta Alam SMAN 1 Mataram), Suranadi (salah satu daerah kuliner di Lombok). Kemudian saya masih bisa menambahkan satu bonus lagi, naek gunung Penanggungan d daerah Mojokerto Jawa Timur. Gunung kecil sih, tingginya 1653 mdl. Gunung ini sebagai penutup rangkaian trip saya.
Pantai Senggigi
Perkiraan awal saya, trip ini akan menghabiskan waktu 10 hari dari saya berangkat dari rumah (Boyolali-Jawa Tengah) menuju Rinjani (Pulau Lombok-Nusa Tenggara Barat) dan kembali lagi ke rumah. Ternyata waktu saya molor satu hari, jadi 11 hari. Tapi saya mendapat banyak bonus, bukan hanya bisa mencapai Rinjani tapi juga beberapa tempat yang sudah saya uraikan sebelumnya. Trip ini memakan waktu 11 hari, dari saya berangkat dari rumah sampai saya kembali ke rumah lagi, karenanya saya memberi judul “The Eleven Days”.
Gili Trawangan
Banyak sekali yang saya dapatkan dalam trip ini. Ilmu dari berbagai aspek. Sedikit pengetahuan tentang bisnis, persahabatan, watak orang, ilmu ikhlas, kepercayaan, bagian kecil budaya daerah di beberapa tempat di Indonesia, keseragaman bahasa daerah, pembelajaran logat daerah, perjuangan hidup, kesetiaan, budaya tentang pernikahan, cerita cinta manusia, bagian kecil dari keindahan alam Indonesia, eratnya sebuah tali persaudaraan organisasi, ketangguhan menghadapi dunia yang tidak saya kenal, cara komunikasi dengan berbagai macam watak dan budaya seseorang, cara menjadi pemenang dalam sebuah perjuangan, cara memberi support pada diri sendiri dan orang lain, banyak lagi, dan banyak lagi ilmu yang saya dapatkan yang sulit untuk saya ungkapkan.
Puncak Gunung Penanggungan




Terlalu banyak pihak yang membantu memperlancar trip saya, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja, disadari maupun tidak disadari, semoga mereka mendapat balasan yang lebih dan lebih dari Allah SWT. Karena saya sendiri mungkin tidak bisa membalasnya dengan tangan saya sendiri.
 







Berjuta-juta terima kasih saya haturkan kepada:

  1. Allah SWT. Tanpa campur tangan-Nya, semua tidak akan terwujud. Dia selalu memberi lebih dari apa yang saya minta. Thanx a lot for my God.
  2. Ibu dan bapak saya. Lebih dari sebulan sebelum keberangkatan, saya sudah minta ijin pada mereka. Mereka yang pada awalnya sangat menentang, di ujung keberangkatan saya mereka memberikan doa restu. Walau sebenarnya kalau saya jadi mereka, saya juga tidak akan bisa berkomentar. Maafkan saya Bu’, Pak.Timing keberangkatan saya memang tidak tepat. Tapi hanya di waktu itulah saya bisa mewujudkan mimpi itu. Maaf beribu maaf...
  3. Dani (adik saya), Mas Adhi (kakak saya), Mbak Tini (kakak ipar saya, istri dari Mas Adhi), dan Kakak ‘Ainii (keponakan saya satu-satunya, dia sekarang tidak mau dipanggil Dek ‘Aini, mintanya dipanggil “kakak”, padahal dia belum punya adik). Terima kasih atas suportnya. Walaupun awalnya mereka semua juga sama menentangnya. Saya tidak marah atas penentangan itu. Karena saya sadar, memang timing’nya!
  4. Mbak Ipung dan Mas Dodot yang sukarela meminjamkan peralatan. Maklum, saya ini bukan pendaki, jadi saya tidak punya alat-alat trekking. Jadi saya harus pinjam alat-alat yang saya butuhkan untuk trip saya.
  5. Mbak Ruli, sahabat saya sejak jaman SMA. Namun sebenarnya kami sudah saling mengenal sejak SMP, tapi baru pas SMA kami mulai saling jatuh cinta. Karena kami dipertemukan di sebuah organisasi sekolah, PERSADA. Sebuah organisasi yang hampir saya lupakan dalam garis ingatan saya. Padahal dari organisasi ini saya mulai melangkah.
  6. Mbak Nununx, sahabat saya sejak SMA juga. Terima kasih atas suport dan doa jarak jauhnya. Walaupun saya tidak pernah cerita tentang kegilaan saya yang satu ini, gampang juga dia tiba-tiba tahu. Dia memang bagaikan dukun, selalu tahu tanpa saya beritahu.
  7. Ipenk dan Surya, yang telah menemani saya dalam perjalanan dari pulau Jawa menuju pulau Lombok kemudian ke Rinjani. Dan kemudian kami berpisah di kota Mataram setelah kami menyelesaikan trip ke Rinjani.
  8. Aseng (teman Ipenk) yang sudah meminjamkan headlamp’nya ke saya.
  9. Beberapa teman di Bali yang kami hubungi saat kami kebingungan di terminal Ubung Denpasar-Bali (koyo to Mbak Sri).
  10. Bang Bintoro, sahabat saya seorang guide Rinjani asal Jember-Jawa Timur. Kebetulan kami sehobby dan sama-sama pencinta skuter klasik. Puoll dey jasanya. Dari dia saya bisa pinjam skuter buat muter-muter dan narsis mania di daerah Senggigi. Memberi tumpangan cuma-cuma dari Senggigi sampai Sembalun. Menuntun perjalanan kami selama menuju puncak Rinjani.
  11. Amak Bibi, Amak Listiyani, Amak Linda dan Amak Diki. 4 porter gokil yang selalu ngocok perut saya. Dari lereng Sembalun menuju Plawangan Sembalun, sampai saat berpisah di danau Segara Anak.
  12. Keluarga Pak Bowo, TNI asal Salatiga yang ditempatkan di daerah Mataram. Masih saudara dengan Ipenk. Terima kasih atas tumpangan gratis dan sajian makanan istimewa selama kami di Mataram.
  13. Mas Koes Nadi, temennya Bang Bintoro. Yang dengan senang hati meminjamkan dome hangatnya, mengantar saya ke Gili Trawangan (bersama temannya yg baru pulang dari Bandung, Bang Dedy), lalu mengajak saya ke sebuah tempat camp indah di Sesaot (Aiknyet) bersama teman-temannya dari PALASMA.
  14. Bang Emen, kondektur bus PO Titan Mas jurusan Surabaya-Sumbawa. Pria berpenampilan sangar, bertato dan bertindik, tapi menurut saya mawar berduri lebih sangar dari dia. Hatinya hati sinetron.
  15. Pak Sopir PO Titan Mas jurusan Surabaya-Sumbawa. Yang telah berbagi banyak cerita tentang gunung selama saya berada di lokasi minim terhimpit di balik pintu bus depan. Maklum, saya penumpang dengan tarip super ekonomi.
  16. Beberapa calon TKI ilegal, yang menemani saya dalam sebuah obrolan di atas kapal fery menuju pulau Bali dan Jawa.
  17. Mas Gimbuk dan Dek Yunuz. Mereka telah menemani sekaligus menjadi porter sukarela dalam perjalanan saya menuju 1653 mdpl (gunung Penanggungan).
  18. Mas Pian yang sudah mengantar saya dan rombongan Penanggungan dari Malang sampai terminal Pandaan.
  19. Ibu Indah yang cerewet dan asik, penjaga warung kopi sekaligus pos pendakian gunung Penanggungan Tamiajeng, Mojokerto, Jawa Timur.
  20. Semua pihak yang telah membantu dan mendoakan kelancaran trip saya.
  21. Thank's for all.